Poppo

10:37 PM

Mengisahkan Poppo’ *

Sekitar tiga tahun lalu, seorang kawan berniat menyusun skripsinya mengenai Poppo’1. Hingga meraih keserjanaannya niat ini tak kesampaian. Ia tak meneruskannya dikarenakan sang pembimbing tak merestui niat tersebut. Padahal ide ini sangat menarik. Pertama, ide ini di luar dari karya-karya mainstream yang dihasilkan di jurusan kami, kedua tantangan untuk bersentuhan langsung dengan mereka yang di kepala orang-orang yang meyakininya sebagai suatu ancaman.

Kemarin, kami berkunjung kerumahnya yang terletak di kelurahan pekabattae kabupaten Pinrang. Kisah tentang poppo’ ini berlanjut lagi setelah seorang kawan bertanya padanya tentang hal tersebut. Saya sendiri mengenal kata ini sewaktu kecil. Poppo’ kerap diceritakan sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan memakan hati manusia dengan jalan menghisapnya melalui dubur. Biasanya korban mereka adalah anak bayi. Ketika berpindah ke Sulawesi Tenggara, saya juga mendengarkan kisah serupa dari seorang kawan yang beretnis Bugis2. Cerita ini dikisahkan di beberapa tempat sebagai horor yang menakutkan.

Terdapat cerita populer tentang asal kejadian Poppo’. Menurut kawan saya, seseorang menjadi Poppo’ karena diwariskan oleh orang tua mereka3. Menurutnya, dalam satu keluarga biasanya terdapat satu anak yang mewarisi hal tersebut. Dalam kesehariannya Poppo’ tak berbeda dengan manusia lainnya, mereka juga berpenampilan seperti yang lain, seperti shalat di masjid dan bergaul bersama. Masyarakat di luar mereka juga tetap menghadiri acara-acara yang diadakan mereka. Begitu pun menyangkut partisipasi politik, mereka juga tidak dipinggirkan4.

Berdasarkan pernyataan teman saya, Poppo’ tak dapat dikenali secara kasat mata kecuali orang-orang yang memiiki kemampuan atau ilmu tertentu. Dari informasinya, seorang bidan bisa mengenali bayi yang mewarisi darah Poppo’ dengan melihat ciri-ciri tertentu pada saat ia lahir. Kawan saya tak tahu apa yang dilihat oleh bidan tersebut. Katanya itu adalah pengetahuan khusus yang dimiliki sang bidan setelah sekian lama membantu proses kelahiran.Sayangnya, saya tak menyempatkan diri menemui bidan tersebut.

Masyarakat membangun pengetahuan dan strategi untuk menghadapi Poppo’ seperti melemparkan garam pada mereka. Kata kawan saya garam membuat mereka kesakitan dan tak berani untuk masuk kerumah “menyerang’ calon korban mereka. Bawang merah yang ditaruh di bawah bantal juga diyakini sebagai cara agar Poppo’ tak dapat mendekati calon korbannya. Penggunaan bawang ini juga kerap kita saksikan pada film-film mengenai vampir baik yang berkembang di barat maupun di daratan Cina.

Keluarga orang-orang yang menjadi korban tak mau menyebarkan bahwa mereka mati karena poppo. Hal ini disebabkan aib. Termasuk juga menikahi
Dari perkataan kawan saya masyarakat diluar mereka tak melakukaan pernikahan dengan mereka. Orang-orang yang menikah dengan mereka hanyalah orang-orang luar. Hal ini juga dikuatirkan akan menjangkiti pasangan. Terdapat beberapa kasusu para keluarga melarang anak-anak mereka menikahi....

Jika di barat vampire dapat menyebakan korbannya berubah menjadi vampir dengan satu gigitan. Poppo di dapat ditularkan melalui lewat kutu dan ulat.

Dari kisah ini, saya mencurigai Poppo’ itu sebagai strategi kuasa, sebagaimana dibahasakan Foucault, yang bekerja dengan cara mengeksklusi (peminggiran) pihak-pihak tertentu. Kemungkinan Poppo ini sarat dengan muatan politis, apalagi di tahun-tahun tersebut penuh gejolak-gejolak ketidakpuasan terhadap. Kemungkinan lainnya Poppo’ bisa jadi sejenis gejala psikis dan medis, melihat bahwa mereka yang digolongkan sebagai Poppo’ hanya bereaksi pada saat-saat tertentu, dengan perilaku yang tak sadarkan diri, ditambah mereka yang menjadi Poppo adalah keturunan dari orang tua mereka sangat ditentukan oleh faktor genetis. Sisi kemungkinan lainnya, poppo’ diciptakan sebagai.... Alhasil, saya tidak ingin menarik kesimpulan dari data-data yang belumlah dan masih perlunya studi-studi mendalam termasuk sejarah di tahun-tahun tersebut.

Mungkin sebahagian dari kita tidak mempercayai tentang Poppo’, tetapi yang jelas, hingga hari ini kisah tentang poppo’ masih berkembang dalam masyarakat khususnya di tanah kelahiran kawan saya. Saya berharap suatu saat bisa bertemu dan bercengkerama dengan mereka yang diyakini sebagai poppo ‘.


catatan
- terdapat 2 rumpun keluarga yang dianggap poppo
- para poppo juga memiliki cara untuk berdamai dengan lingkungan di mana mereka tinggal dengan mengunci diri di kamar mandi jika naluri poppo mereka muncul.

catatan

* barat memiliki kisah tentang vampir di tanah bugis sendiri memiliki kisah tentang poppo. Seperti halnya vampir, poppo kerap diceritakan sebagai ancaman, teror, ...
1. Nama kawan tersebut adalah Abdulrahman. Kami memanggilnya dengan singkatan nama Abe dan menambahkan kata ”kecil“, untuk membedakannya dengan seorang kawan lainnya yang bernama sama dengan badan lebih besar.
2. Di masyarakat Bugis, Poppo’ dibedakan dengan parakan. Berbeda dengan poppo’, seseorang menjadi parakan ketika salah mempelajari ilmu tertentu, yang dimaksud adalah ilmu tarekat. Kesalahan ini kemudian melahirkan ilmu hitam. Selain itu Poppo hanya menyerang orang-orang sakit sedangkan parakan menyerang baik orang sakit maupun orang sehat. Terdapat cerita tentang parakan yang mengatakan ketika ‘beraksi’ ia melepaskan kepala dari tubuhnya kemudian terbang menuju calon korban. Parakan dikenal tidak hanya oleh masyarakat bugis. Sewaktu di Sulawesi Tenggara dulu nama ini juga digunakan.
3. Menurut Abe Kecil, Poppo’ muncul diperkiraan di tahun 40an hingga 50an, awalnya generasi pertama yang menjadi Poppo’ menelan korban dari anggota keluarga.
4. Foucault juga telah melakukan studi semacam ini mengenai kegilaan.
5. Abe menunjukkan hal ini dengan menceritakan seorang yang dianggap poppo’ dipilih sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan program desa. Ia melihat hal ini sebagai bentuk pelibatan mereka dalam ruang-ruang politik.

0 comments: